Kamis, 22 Agustus 2013

Perjalanan Anak Islam Papua


Nama dan Tempat Lahir

Selama ini saya dikenal sebagai Ismail Asso. Tapi dalam ijazah saya tercatat dengan nama Isman Asso. Saya lahir di Kampung Werasikiwa, Dusun Assolipele Distrik /AssolokobalWalesi Wamena Kabupaten Jayawi Jaya Papua. Dusun Assolipele Distrik Walesi kira-kira 6 Km dari Selatan Kota Wamena. Kapan persisnya saya lahir tidak tercatat, karena lingkungan keluarga belum tahu baca tulis. Tapi peristiwa perang tahun 1977 saya tidak ikut mengalami. Karena itu dapat diperkiran disini saya lahir pada tahun 1975 atau 1976. Tanggal dan bulan berapa persisnya saya lahir tidak pernah tahu berlangsung terus-menerus hingga akhir hayat nanti.

Sebenarnya pemberian namaku oleh orang tua lain dari nama diijazah. Pemberian nama dalam budaya Suku Dani terkait erat dengan peristiwa penting untuk dikenang. Nama adalah harapan demikian pemberian nama oleh orang tua. Demikian dengan pemberian nama saya oleh orangtuaku. Saya diberi nama Nasike: Na (ku), Sike (panah;). Jadi Nasike = "Panahku". Jika diperhatikan dari arti nama ini dalam bahasa Dani Lembah Baliem menunjukkan ada harapan orang tua, bahwa kelak besar dikemudian hari nanti saya diharapkan menjdi penjaga dusun atau dapat juga berarti penjaga/pemelihara clan Assolipele dari perebutan musuh atau pemelihara clan dalam tradisi perang suku. Dapat pula berarti mengganti fungsi orangtua sebagai pendiri Dusun Assolipele. Karena panah adalah simbol pertahanan/penjaga diri dalam perang Suku di Lembah Balim Jayawi Jaya yang terkenal sampai di manjaganegara itu.


Kemudian nama Nasike diubah jadi Ponogo. Kini orang mulai memanggilku dengan sebutan nama baru Ponogo, artinya "Terjatuh". Diberi namaku demikian mungkin karena almarhum ayahku wafat dalam kecelakaan di Kalelo pada musim kelapa hutan (tuke melapenem). Nama ini sebagai pengingat peristiwa kecelakaan almarhum orang tua. Tapi kadangkala orang tetap panggil nama lama, Nasike. Demikian pemberian pergantian nama dalam tradisi Suku Dani Lembah Balim Wamena Jayawi Jaya Papua.
Pada waktu saya terdaftar sebagai siswa Madrasah Ibtidaiyyah (MI/SD) Walesi, guruku, mengganti namaku lain lagi. Dalam raport saya dicatat bernama Isman Asso, tanggal lahir 5 Mei tahun 1975. Nama ini maknanya saya sendiri tidak tahu, tapi diikuti ijazah SMP, SMA hingga perguruan tinggi (IAIN/UIN). Pencatatan tanggal dan tahun lahir dan nama oleh Kepala Sekolah sepenuhnya fiktif. Tidak hanya saya semua teman-temanku siswa sekolah ini sama. Pencatatan identitas raport inisiatif Kepala Sekolah kami, Pak Bashori Alwi.

Walaupun demikian apakah penting arti sebuah nama? Umumnya para ulama sufi memandang symbol tidak penting. Bagi mereka betapapun kulit pisang indah dipandang mata yang dimakan tetap isinya. Bukan symbol tapi essensi, bukan formal tapi substansi, bukan kulit tapi isi, bukan sebutannya tapi orangnya. Singkatnya bukan nama tapi orangnya. Hadis populer misalnya; Innallahalaa yangdhuru ila shuwarikum walaa ila ajsaamikum walaakin yangdhuru ilaa quluubikum wa’amalikum. Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak melihat gambarmu dan badanmu tapi Dia melihat hatimu dan amal perbuatanmu”. (Hadits Nabi ). Namun kadang manusia sering mementingkan bungkusan daripada isi. Karena memang isi tanpa kulit tidak mungkin baik, walaupun tetap yang mau dimakan bukan bungkusan. Belakangan filsafat bahasa, hermeutika, Mickael Faucol, mengesampingkan aspek ini sebagai hal penting. Demikian sufi abad tengah, Syaikh Jalaluddin Ar-Rumi dalam kitab Syamsi At-Tabriz menulis :

"Cinta kutuliskan dan kuuraikan panjang lebar
Namun cinta kudatangi aku menjadi malu atas kata-kataku dihadapan cinta
Kata-kata terlalu panjang lebar menguraikannya
Akalpun terbaring tak berdaya dihadapan cinta, bagaikan kedelai didalam lumpur
Hanya cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan
Jika bukti datang jangan palingkan wajahmu darinya
Matahari membuktikan dengan sinarnya..."

Saya sendiri tidak tahu arti penting sebuah nama. Tapi kata orang Jawa nama adalah harapan (do’a). Dalam kliwon (ramal nasib?) nama Isman Asso, mungkin baik. Tapi apa arti pentingnya bagiku? Saya sendiri tidak mengerti dan juga tidak persoalkan gunakan nama ini, namun banyak hal baik-buruk, susah-senang, manis-pahit pernah saya jalani gunakan nama ini. Dengan menggunakan nama ini saya pernah rangking satu di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Merasugun Asso Welesi Papua walaupun di Ciseeng Bogor Jawa Barat, pertama terdaftar SMPI Al-Mukhlisin saya siswa paling bodoh karena dicatat guru Wali kelas ranking 45 dari jumlah 45 siswa. Namun dari sekian nama itu kini dalam pergaulan sehari-hari saya dikenal Ismail Asso. Menjadi masalah tatkala Ismail Asso bukan sebagai Isman Asso mengurus sesuatu urusan resmi.

Islam Yang Saya Kenal

Namaku Ismail Asso, lebih menunjukkan nama Islam (tanpa fam) dari bahasa Arab ketimbang dari bahasa Ibrani yang mesti ditulis Ishmael. Bahasa Ibrani dan Bahasa Arab dari satu rumpun budaya semit Timur Tengah. Nabi Ibrahim, sebagai Bapak monotheisme, memeperisterikan Siti Sarah dan Siti Hajar (Hagar). Isteri kedua memperanakkan Nabi Ismail AS yang kelak menurunkan Nabi Muhammad SAW, pembawa Islam, dan Ishaq AS, menurunkan Nabi Isa AS atau Yesus Kristus, pembawa agama Kristen.

Demikian kira-kira nama saya terambil disini jika ditelusiri kesana. Ismail aksen Arab dari bahasa Ibrani dalam kisah Al-Qur’an, kitab suci Islam tertulis dalam bahasa ini. Ibrani juga bahasa kitab suci umat Yahudi tertulis. Bahasa Arab dan Ibrani se-rumpun dari budaya semit Timur Tengah, tempat agama-agama besar samawi berasal (baca Yahudi, Kristen dan Islam). Budaya bahasa mereka Ismail/Ismael maksudnya sama. Dari bahasa Ibrani : Isma’, artinya : “mendengar”, El, artinya: “Tuhan/Allah”. Berarti Ismail artinya “Tuhan telah mendengar”. Nama depan sering berubah tapi fam Asso tetap menempel dibelakang mengikuti perubahan nama. Ismail adalah nama “baptis” atau nama syahadah.

Masa Kanak-Kanak

Saya habiskan masa kanak-kanak di kampung kelahiranku di Distrik Assolipele Walesi, (Distrik Assolipele semua warga penduduknya beragama Islam). Pada masa saya lahir dan kanak-kanak tradisi lama sangat dominant. Pengaruh modernisasi dan agama belum terasa. Tradisi adat budaya di Lembah Balim pada masa itu dan mungkin sampai dewasa ini masih lebih kuat dari nilai lain dan baru termasuk agama Kristen. Di Lembah Balim Wamena orang lebih menghayati tradisi lama daripada agama. Nilai-nilai Adat lebih dihormati mempengaruhi hidup masyarakat hingga dewasa ini masih terasa berlangsung.

Kedua orang tuaku meninggal sejak saya masih kecil. Saya menjalani kehidupan yatim piatu sejak kecil. Karena itu pada masa kanak-kanak saya sering kelaparan karena tidak makan teratur. Saya dan teman-teman sebaya sering makan buah-buahan dari alam dan daun mentah seperti lalapan untuk tahan-tahan lapar. Karenanya saya menderita penyakit busung lapar alias kurang gizi. Jika diingat semua itu cukup sedih memang, tanpa kasih sayang oleh orang tua.

Karena itu pada masa kanak-kanak saya dipelihara berpindah-pindah oleh kerabat ayahku dari satu keluarga ke keluarga lain. Saya mengalami tiga lingkungan Katolik, Islam dan Kingmi, tapi nilai-nilai adat (Kaneke) lebih dominan. Nama Nasike pernah ditulis absensi SD YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) Hepuba Distrik Assolokowal. Paman saya Bapak Amandus Asso berpendidikan Belanda, dia guru agama Katolik disekolah pemerintah (SD Impres Megapura) dan sekolah umum milik yayasan Katolik.

Datang tinggal di Hepuba sebenarnya saya tidak betah, tapi Paman di Welesi menginginkan saya tinggal di Hepuba daripada tempat lahir saya dilahirkan, di Walesi. Karena selain sejarah garis keturunan nenek moyang keluarga besar Asso di Walesi dari garis keturunan ayah berasal dari daerah sekitar disini (Wesapot, kini desa Assotipo). Demikian juga banyak kerabat nenek moyang ayahku ada disini (Distrik Assolokowal dan Assotipo).

Selama datang tinggal hidup di Hepuba yang tidak pernah saya lupa karena itu sulit dilupakan adalah, mandi pagi buta pada hari minggu, karena paman saya Bapak Amandus Asso, khotbah di Gereja Katolik Hepuba, mengharuskan saya bersamanya pergi ke Gereja. Hanya beberapa tahun saja di Hepuba, karena tidak betah saya kembali ke Welesi walaupun paman menginginkan saya harus tetap tinggal disini sampai besar. Jika saya tidak pulang ke Walesi mungkin jadi lain jalan cerita hidup saya.

Awal Mula Islam di Walesi

Sebelum orang-orang Walesi masuk agama Islam, sebenarnya yang lebih dulu masuk agama Islaam Suku Dani Lembah Baliem Wamena adalah orang-orang dari Megapura klan Lani, Lokobal, Matuan dan Asso dari daerah Megapura dan Hitigima, Lanitapo dan suku Mukoko,Wouma melalui guru-guru asal Jawa yang dikirim oleh pemerintah di SD Impres Megapura (nama daerah ini dulu, Sinata). Tapi agama Islam tidak berkembang dikalangan mereka sebagaimana perkembangan Islam di Walesi yang didukung oleh kepala-kepala suku besar dan tokoh-tokoh Adat, walaupun kini komunitas muslim di Wamena sudah merata.

Sebelum Madrasah Ibtidaiyah (MI) Merasugun Asso didirikan pada tahun 1978, di Welesi sebenarnya sudah ada SD YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) dari Missi Katolik. Jaraknya tidak jauh dari Distrik Assolipele, (Assolipele adalah nama confederasi perang tapi juga nama kampung/distrik). Saya pernah masuk SD YPKK ini tapi hanya sebentar saja. Saya ditolak oleh guru wali kelas bernama Cosmas Asso. Alasannya saya masih kecil selain jarak dari rumahku jauh untuk ukuran usiaku pada masa itu. Mungkin begitu pertimbangan guru wali kelas itu karena memang badanku kecil dari teman sebaya yang boleh sekolah dan diterima di sekolah itu.

Karena SD YPPK dari Missi Katolik maka semua anak-anak muslim (kakak-kakak kami) dari clan Assolipele berjumlah 20 orang yang tidak boleh sekolah di SD ini dikirim ke Jayapura untuk sekolah di SD Muahhamadiyah Abepura dan Madrasah Ibtidaiyyah Nurul Anwar kota Jayapura. Dalam waktu sama dikampung kami mulai bangun rumah tempat tinggal guru dan Madrasah Ibtidaiyyah, sebagai sekolah Islam pertama dan satu-satunya di Wamena dan Pegunungan Tengah Papua hingga dewasa ini dibangun. Bangunan ini kemudian digunakan berbagai macam kegiatan keagamaan seperti pengajian semi Pondok Pesantren oleh guru-guru dari Jawa dan Bintuni-Fak-Fak yang datang pada tahun 1977-1980.

Saya bersama teman-teman sebaya belajar mengaji disini setiap sore ba’da maghrib (selesai sholat maghrib, jam 18.00 WITA), seperti kaifiyatusholah (tata cara sholat), thoharah (tata cara berwudhu), sholat jum’at bersama kaum bapak, sholat taraweh berjama’ah tiap bulan Ramadhon (bulan puasa), khitanan massal, rapat umum jika ada tamu dari Jayapura atau Jakarta dll.

Bangunan pertama ini bentuknya segi empat dan dua tingkat. Ditingkat atas digunakan untuk tempat tinggal guru-guru, dibawahnya difungsikan tempat mengaji, mushollah, madrasah di pagi hari dan berbagai fungsi keagamaan Islam lainnya seperti telah disebut diatas. Pembangunan dan lokasi Islamic centre Walesi pada mulanya diatas tanah milik clan Asso. Tapi karena lokasinya jauh dan kedalam, maka di pindah temapt sekarang ini diatas tanah clan Yelipele.

Bangunan pertama ini sudah direncanakan tahun 1975 tapi mulai dibangun tahun 1978 dan selesai tahun 1979 siap digunakan untuk kami sekolah. Bangunan ini belakangan mulai digunakan untuk kegiatan belajar mengajar sekolah Islam pertama (Madrasah Ibtidaiyyah) pada pagi hari sejak guru-guru dari Jawa dan Kokas Bintuni Papua datang tinggal disini. Sementara itu pembangunan Madrasah Ibtidaiyyah sudah dimulai dibangun.

Tapi sebelum ada bangunan sekolah dan rumah tempat tinggal didirikan disini guru-guru Agama Islam sudah datang lebih dulu dari Fak-Fak jauh sebelumnya. Yang pertama datang adalah Pak Guru Aroby Aituarau (kini MRP Pojka Agama) dari Jayapura kelahiran Kaimana dan kedua Pak Jamaluddi Iribaram dari Kokas Bintuni (kini kepala Urusan Haji Propinsi Papua). Sebelum akhirnya bangunan sekolah kami Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso benar-benar dibangun lengkap 6 ruang kelas belajar yang sangat megah dan modern pada tahun 1980 untuk ukuran daerah pedalaman Pegunungan Tengah Papua waktu itu.

Saya belum pernah mengalami pendidikan dengan Pak Aroby Aituarau karena waktu itu (tahun 1978) saya sangat kecil. Konon dia mengajar pelajaran agama Islam di lapangan terbuka beralaskan rumput. Sebagai tempat tinggal sementara dia dibuatkan gubuk kecil disamping rumah Kepala Suku Haji Muhammad Aipon Asso. Karena tidak ada bangunan apalagi sekolah kala itu di Kampung Assolipele. Aroby Aituarau datang mengajar Islam disini tahun 1977-1978.

Beberapa waktu kemudian sepeninggal Aroby Aituarau, Jamaluddin Iribaram dari Kokas didatangkan. Rumah tempat tinggal guru kedua ini sudah selesai dibangun tahun 1978 seperti dijelaskan diatas tadi, berupa bangunan segi empat dua lantai. Tempat itu kini dikenal sebagai lokasi Islamic Centre Walesi sekarang. Pak Jamal kelak hidup lama di Wamena, tidak seperti Arobi Aituarau yang hanya sebentar walaupun keduannya sama-sama Asli Papua, masih muda dari Uncen Jayapura, aktifis HMI, dan berasal dari Fak-Fak dan didatangkan oleh Islamic Centre. Organisasi ini didirikan atas gagasan Dr. Kolonel Mulya Tarmidzi dari Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura.

Ketua Islamic Centre kota Wamena Kabupaten Jayawi Jaya pada waktu itu Pak Hasan Panjaitan, Sekda Kabupaten Jayawi Jaya. Sponsor utama dukungan organisasi ini datang dari para pejabat di ibukota Propinsi Papua yang beragama Islam dan utamanya Dr. Kolonel Mulya Tarmidzi dari AL dan Saddiq Ismail Kadolog. Jamaluddin Iribaram sama dengan Aroby Aituarau, didatangkan ke Walesi masih berstatus mahasiswa Uncen kala itu. Dia dibujuk agar meninggalkan kuliah untuk mengajar Islam disini. Jalamaluddin Iribaram muda ganteng tapi taat agama, saya kira wajar kalau dia sebagai guru agama/ustadz, tidak pernah terpengaruh oleh banyak perempuan muda Walesi suka padanya.

Saya termasuk siswa ajaran pertama Pak Guru ini. Mula-mula Pak Jamal tiba disini pengajaran pendidikan madrasah belum di mulai secara luas –kecuali kami anak-anak kampung sekitar sudah diajari mengaji duluan- tapi terbatas hanya beberapa anak dan masih dilakukan himbauan-himbauan agar para orang tua memasukkan anak pada pelajaran Al-Qur’an sore hari. Disamping belum ada bangunan sekolah untuk sementara tempat tinggal Pak Jamal (rumah guru) di jadikan sebagai ruang serba guna misalnya ruang belajar agama Islam anak-anak sekaligus dijadikan tempat pengislaman seperti sunatan massal, syahadat dan tempat belajar tata cara sholat kaum tua.

Saat itu saya belum berpakaian (tapi bulum layak kenakan koteka) demikian semua teman-teman sebayaku disini, sejak mula saya cerita bahwa saya sudah yatim piatu. Sebagai anak yatim yang ditinggal pergi kedua orang tua saat masih kecil, sudah tentu pertumbuhan badanku kurang baik, dengan banyak ingus meleleh dan perut buncit, saya diajak paman datang bawa makan (petatas/ubi jalar merah kesukaan) menemui Pak Jamaluddin Iribaram.

Paman saya, Heramon Asso, pelopor salah satu gigih Islam di Walesi. Ustadz Jamaluddin akrab dengan paman saya karena alasan perlindungan. Rumah tempat tinggal Pak Jamal banyak pakaian sumbangan dari Jayapura. Saya pakai baju duluan dari kawan-kawan sebaya. Hampir seluruh orang Walesi kala itu masuk Islam masih mengenakan koteka. Jika ada orang datang berpakaian bau sabun atau wangi tercium jelas oleh warga walaupun jaraknya jauh, mungkin dipengaruhi udara yang sangat bersih dan asli. Pamanku Heramon Asso menemui Pak Jamal masih mengenakan koteka.

Tempat Pak Jamal tinggal setiap malam (ba'da maqhrib) diadakan pengajian al-qur'an. Saya dan teman-teman sebaya belajar mengaji disini. Kami lebih dulu tahu menyebut; alif, ba, ta, sta dst. huruf hujaiyyah, (abjad arab) daripada huruf latin. Kami diajarkan membaca Al-Qur’an dimulai dari Juz ‘amma hingga khatam masuk Qur’an besar dimulai awal dari surat Alif Lam Mim (Surat Al-Baqorah). Awalnya dituntun, karena sering ulang-ulang, surat-surat pendek ayat Al-Qur’an sudah kami hafal. Kami juga diajarkan tajwid dan makharojul huruf.

Di Walesi selain SD YPPK belum ada sekolah lain waktu itu. Ada SD Impres di Megapura jauh dari Walesi. Tidak ada kegiatan lain selain belajar mengaji yang tempatnya digunakan dari bangunan rumah tempat tinggal guru. Bangunan itu dipakai sebagai tempat sholat, mengaji dan belajar pendidikan agama islam sekaligus. Bangunan rumah guru itu adalah bangunan Islam pertama dibangun selesai tahun 1978 di Walesi.

Pada mulanya Pak Jamal sendiri tidak ada kegiatan belajar hanya mengaji. Tapi pada tahun 1979 dua orang guru khusus Madrasah Ibtidaiyyah (MI) datang dari Jawa. Mereka didatangkan oleh Rabithah ‘Alam Islami, organisasi dunia Islam yang kantor pusatnya di Saudi Arabia itu bekerja sama dengan DDII. Dua orang guru itu bernama Bashori Alwy dan Walidan Mukhsin, mereka dari Bantul Jogjakarta. Sejak kedatangan dua guru dari Bantul Jogjakarta itu Pak Jamaluddin Iribaram pindah bantu mengajar mengaji di Kota Wamena.

Pembangunan sekolah pertama dimulai tahun 1978, selesai tahun 1980. Bangunan sekolah itu kelak dinamai menjadi Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Merasugun Asso Walesi. Nama Merasugun Asso dari nama pejuang dan orang paling pertama masuk islam sebagai muallaf asal Walesi, atas jasa-jasa perjuangan namanya diabadikan menjadi nama Madrasah. Sekolah ini pertama dan juga satu-satunya di kabupaten Jayawi jaya sampai hari ini.

Bangunan sSekolah itu dibangun lengkap dengan 6 ruangan kelas. Kegiatan belajar mengajar layaknya Madrasah Ibtidaiyyah mulai digunakan bangunan baru ini. Sumbangan mengalir dari mana-mana. Dari Jepang, Malaysia, Jakarta, Jayapura juga dari kota Wamena sendiri. Sumbangan berupa pakaian dan alat-alat perlengkapan sholat. Dari Jepang alat-alat sekolah seperti buku, pensil, penghapus dll. Kami siswa paling modern tapi juga paling lengkap untuk ukuran pedalaman Papua kala itu.

Mulai Sekolah

Tahun ajaran 1982 saya tercatat sebagai siswa kelas satu di Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Kami dikenalkan dengan pelajaran berhitung dan huruf latin oleh seorang guru putra daerah bernama Muhammad Ali Asso. Guru ini sebelumnya sudah belajar di Madrasah Ibtidaiyyah Yapis Jayapura. Pak Guru Madrasah kelas satu ini sekaligus wali kelas kami. Dia keras, kalau kami nakal, tapi cara mengajarnya mudah dicerna untuk dipahami. Muhammad Ali Asso, mengajar kami dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah dengan contoh-contoh alam sekitar memudahkan kami mencerna pengajarannya. Dalam pembagian raport kenaikan kelas saya dicatat sebagai juara satu kelas. Demikian setiap kenaikan kelas selanjutnya.

Tidak lama Pak Bashori dan Pak Walidan dari Jawa datang tahun 1980 di Walesi, beberapa guru bantuan datang lagi dari Jawa. Pak Guru Nur Hadi Waluyo adalah sarjana muda pertama guru kami datang tidak lama setelah Pak Walidan Muhsin dan Pak Bashori Alwi. Praktis sekolah Islam dan Madrasah Ibtidaiyyah pertama dan satu-satunya di Wamena ini hampir semua gurunya adalah pendatang tidak ada lagi guru orang Papua asli selain Muhammad Ali Asso yang belakangan di pecat karena minum beer yang diharamkan dalam agama islam itu. Silih berganti guru-guru kami datang dan pergi hampir semuanya amber (pendatang) dan tentu wajib beragama islam.

Sistem pendidikan di Madrasah Merasugun diterapkan dua system pagi dan sore.. Kami belajar dalam system yang diberlakukan system semi pesantren. Pada pagi hari kami sekolah biasa. Pada sore hari kami belajar pelajaran agama Islam terutama belajar Al-Qur’an. Pada pagi hari kami sekolah sebagaimana biasa dengan kurikulum diatur Madrasah Ibtidaiyyah tingkat nasional oleh pemerintah. Tapi pada sore hari kami diwajibkan belajar mengaji Al-Qur’an. Kami belajar sistem pendidikan semi Pondok Pesantren sebagaimana dikenal kebanyakan di Jawa.

Setiap sore dibantu tenaga guru-guru dari negeri yang datang tinggal disini seperti Pak Qomari guru SD Negeri Kurima dan Pak Mahmud Yahya yang pada mulanya guru SD Negeri di Walaik, bantu mengajari kami belajar ngaji (belajar Al-Qur’an) di Madrasah Walesi. Mereka membantu tugas Pak Bashori Alwi dan Walidan Mukhsin mengajar kami yang jumlahnya banyak silih berganti secara bergilir. Pak Qomari adalah seorang guru negeri yang dikirim pemerintah yang ditugaskan di SDN Kecamatan Kurima tapi belakangan membina muslim Megapura selain mengajar kami. Dia berasal dari Madura dan dari kampungnya memang santri. Beliau membantu tugas Pak Bashori dan Walidan Mukhsin mengajar kami mengaji.

Banyak guru silih berganti datang dan pergi di sekolah kami pada umumnya guru-guru orang pendatang (luar Papua) dan muslim tentunya karena sekolah kami Madrasah Ibtidaiyyah. Banyak guru sekolah lain pindah mengajar disekolah kami, termasuk guru negeri yang ditugaskan pemerintah di sekolah Negeri dan Impres. Guru-guru Negeri dari Jawa dan Sulawesi, NTB yang beragama Islam lebih suka pindah datang tinggal mengajar di sekolah kami, Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi daripada temapt mereka ditugaskan. Guru-guru dari negeri yang dikirim pemerintah sebagai bantuan IMPRES banyak lari dan lebih merasa nyaman mengajar sekolah kami disini daripada sekolah pemerintah di pelosok jauh tempat lain Kabupaten Jayawi Jaya Wamena yang asing dan sulit buat mereka.

*** ***

Suatu waktu, saya ingat disini, kalau tidak salah pada saat saya duduk kelas III, selama enam bulan saya minggat masuk dikelas, karena ikut teman berburu ke hutan, tapi oleh kepala sekolah saya tetap dinaikkan ke kelas IV. Padahal saya tidak ikut ulangan dan tidak masuk kelas selama setengah tahun (6 bulan). Kesadaran betapa penting arti pendidikan bagi kami dan oleh lingkungan sangat rendah disini. Kadang-kadang selama satu bulan pada musin-musim tertentu kawan-kawan yang lain sama seperti saya, jarang datang ke kelas untuk belajar. Selama beberapa bulan bersama teman-teman sebaya saya suka keluyuran dihutan sekedar berburu kus-kus dan burung.

Ikut MTQ Nasional

Untuk pertamakalinya waktu kelas III Madrasah saya diutus jadi peserta lomba MTQ di kota Wamena tingkat kanak-kanak mewakili Walesi. Saya ingat waktu itu saya Al-Qur’an Surat Al-‘Aadiyat ayat 1-11. Tapi tidak dilagam (irama), dewan juri hanya diperhatikan tartil, makhroj bacaan kami dan saya dinyatakan juara dua. Puncaknya adalah pada saat saya baru naik kelas lima ke kelas enam di kota Wamena diadakan lomba Misabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat Kabupaten. Pak Ustadz Bashori Alwi titip berita agar saya segera datang.

Karena waktu itu sebagaimana biasa disini pada musim-musim tertentu, saya minggat sekolah dan mengaji selama beberapa bulan lamanya. Dia titip pesan khusus segera agar saya kembali masuk sekolah. Maksudnya agar saya mau dibina khusus pelajaran Al-Qur'an setiap ba'da sholat maqhrib selama beberapa minggu untuk mengikuti MTQ di Kota Wamena. Selama beberapa minggu saya dilihat bagaimana kemajuan bacaan Qur’an-nya, mulai dari tajwid-nya dan makhrajul-huruf.

Kami anak-anak dari Walesi sebenarnya dua orang peserta diutus untuk mengikuti lomba ini. Selain saya ada yang lebih tua dari saya. Dia sudah kelas 6, untuk tingkat remaja. Tapi kandas sampai dikota Wamena. Hanya saya yang lolos sampai ke tingkat Nasional mewakili Propinsi Papua nanti. Saya dan anak-anak usia sebaya mengikuti lomba MTQ, dan saya dinyatakan oleh dewan juri keluar sebagai jura satu. Saya senang karena banyak dapat hadiah termasuk tabungan uang BRI yang saya sendiri tidak tahu mengurusnya hingga bagaimana nasib hadiah uang itu hingga sekarang saya tidak pernah tahu.

ulu Pak Jamaluddin Iribaram sendirian mengajar kami pelajaran agama Islam. Tapi pada tahun 1980 dua orang guru/ustadz dari Jawa, datang membantu mengajar kami mengaji Al-Qur’an dan sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Walesi. Kedatangan dua orang guru/ustadz khusus dari Jogjakarta ini bantuan Rabithah 'Alam Islami yang berkedudukan kantornya di Suadi Arabia itu, menerapkan pola pendidikan semi pesantren.

Pada pagi hari kami sekolah madrasah biasa, dan sore harinya ba'da maqhrib biasanya belajar mengaji Al-Qur'an. Demikian setiap sore di sini, menerapkan sistem pendidikan pagi sekolah Madrasah biasa dan sore di lanjutkan dengan mengaji Al-Qur'an. Karena itu alumni madrasah ibtidaiyyah Walesi tidak kalah sedikitpun dengan alumni Pesantren dalam hal mengaji Al-Qur'an terutama makhrojul huruf dan tajwidnya.

Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Desa Walesi, melahirkan alumni pertama tahun 1987, saya termasuk alumni ke-2 dari sekolah ini tamat tahun 1988. Bersama saya ada 6 orang siswa ikut ujian nasional. Banyak murid teman-teman kami yang tidak serius sekolah. Kesadaran pendidikan waktu itu sangat rendah, sehingga banyak siswa-siswi, teman-teman kami yang berhenti sekolah dan keluar-masuk secara tidak serius di sekolah Islam pertama di Wamena ini. Demikian ini sesungguhnya tidak hanya mereka yang lain tapi termasuk kami yang 6 orang ikut ujian lulus itu. Tapi hanya factor X kami masih sempat sampai ikut ujian nasional dan dinyatakan lulus.

Teman kelas kami yang perempuan semuanya di kawinkan oleh orang tua mereka. Demikian adalah suatu kebiasaan buruk yang saya kira masih berlaku sampai sekarang ini. Karena itu tidak heran jika sekarang ini, dari Walesi tidak ada mahasiswi atau lulusan SMA, adalah kenyataan pahit pola kebiasaan lama orang tua di kampung kami di Walesi yang masih berlaku. Sebab ada tradisi (kepercayaan) orang tua menganggap bahwa perempuan adalah lambang kesuburan, sehingga dipertahankan untuk tidak pergi merantau jauh.

Pada saat naik ke kelas 6 saya masih belum serius sekolah. Pada suatu hari, karena saya tidak sekolah beberapa hari sebelumnya saya dicari oleh guru kepala sekolah yang merangkap guru mengaji. Tujuan Kepala Sekolah yang bernama Pak Bashori Alwy itu agar saya dilatih qiro’ah pada seorang Qori asal Ternate di kota Wamena.

Saya diantar Pak Bashori setiap sore datang turun-naik ke Wamena kota dari Walesi sekitar 6 kilo arah selatan dari Wamena. Saya masih ingat seumur-umur naik motor pertama bersama Pak Guru ini duduk miring-miring. Padahal jalan Walesi-Wamena saat itu belum diaspal dan berkelok-kelok. Demikian juga pengalaman paling pertama saya dibelikan sikat gigi dan odol untuk gosok gigi yang hasilnya gigi saya berdarah-darah. Saya juga dibelikan sandal swallow dan saya kira pengalaman paling pertama saya mengenakan alas kaki. Kejadian itu semua terjadi pada tahun 1986 kala itu.

Selama beberapa bulan dari minggu-keminggu menampakkan hasil dan kemajuan mengaji saya. Soal suara saya sudah ok, tajwid, maqhroj juga ok, tartil qur’an juga ok, tajwid juga sudah ok, tapi yang dilatih agar saya benar-benar bisa kuasai adalah irama lagu-lagu bacaan Al-Qu’an. Selama beberapa minggu saya dikarantina untuk dilatih terus-menerus dirumah Kasubdolog Jayawi Jaya. Dan hasilnya alhamdulillah saya sudah menguasai bacaan qiro'ah mulai bayati : qoror, nawa, jawab, jawabul jawab, nahawand, sika, jiharka dalam berbagai versi bacaan seperti misri, turky dll dalam bebera surat Ayat Al-qur’an. Beberapa surat saya menghafal mati diluar kepala karena sering diulang-ulang.

Saya kemudian diberangkatkan ke Jayapura diantar oleh seseorang yang saya belum kenal, tapi dia ditugaskan agar mengurus segala tetek bengek keperluan saya.. Selama di Jayapura saya dipertemukan dengan para qori senior yang pernah mewakili Papua ditingkat nasional. Mereka menjadi pelatih ditingkat propinsi, difasilitasi oleh Pemda agar mendidik qori’-qori’ah yunoir seperti saya.

Mereka oleh Pemda diberi tinggal berupa rumah tepatnya di LPTQ Kota Raja sekarang ini. Disana saya ketemu dengan Ustadz Hasan Basri asal Serang Banten dan Wahidin Purada dari Kaimana, Fak-Fak (kini Bupati Fak-Fak). Mereka dua adalah pelatih saya pertama dari propinsi. Karena pindah pelatih hafalan saya lagu-lagu dari Wamena agak menjadi kacau.

Saya di latih dan tinggal di rumah pak Wahidin Puarada. Saya diperlakukan dengan istimewa sama Qori Nasional asal Kaimana Papua itu. Selama beberapa minggu saja saya di Jayapura, beberapa hari lagi saya harus berangkat ke Kabupaten Nabire untuk mengikuti MTQ tingkat Propinsi Papua (waktu itu Irian Jaya). Saya mewakili Kabpupaten Jayawi Jaya di even tingkat propinsi di Nabire ini. Tapi karena saya satu-satunya putra daerah dan memang dipersiapkan sejak awal, maka untuk mengikuti tingkat Propinsi itu saya sudah duluan di latih pelatih tingkat Propinsi..

Hasilnya saya menang dan keluar juara satu untuk tingkat anak-anak..Banyak orang memberi semangat dan gembira saya menang. Banyak petinggi propinsi yang beragama Islam senang pada saya, karena saya muallaf juga masih anak-anak tapi juga orang asli Papua adalah sejumlah pertimbangan mengapa saya banyak di gembirai umat islam Papua kala itu termasuk juga oleh para pejabatnya di tingkat propinsi.Setelah selesai even di Nabire saya di bawa pulang membawa kemenangan dengan berbagai hadiah, tapi tidak ke Wamena, kampung saya tapi saya di bawa ke Jayapura. Ternyata saya sudah ditangani dan dipersiapkan untuk mengikuti MTQ tingkat Nasional di Bandar Lampung.

Sejak pulang dari Nabire saya dilatih oleh para pelatih tingkat Propinsi, tapi tidak segiat dan seserius di Wamena dulu. Disini saya dianggap sudfah bisa atau kalau dilatihpun iramanya beda dari pelatih saya pertama di Wamena sehingga hafalan saya menjadi kacau balau. Tidak berapa lama kami peserta rombongan (kafilah) Irian Jaya (IRJA), yang terdiri dari para pejabat Pemda Propinsi dan rombongan Qori-Qoriah berbagai tingkatan itu tiba di Jakarta pada malam hari, dari berangkat jam lima pagi Bandara Sentani Jayapura menggunakan pesawat Garuda Airways. Dari Bandara Cengkareng kami menuju kota Jakarta untuk transit beberapa lama di Royal Hotel di Jalan Gajah Mada. Beberapa hari saja di Royal Hotel besoknya kami lewat darat menuju Merak Banten untuk diteruskan ke Bakahuni Lampung.

Di lampung kami diberi tempat oleh panitia tuan rumah di APDN, kota metro Bandar Lampung. Disni kafilah Papua tinggal sederetan dengan kafilah dari Kalimantan Selatan. Terus terang saya tidak di dampingi oleh orang-orang dari Kabupaten Jayawi Jaya tapi dengan orang-orang baru saya kenal dari Propinsi. Tapi hanya beberapa hari saja bersama rombongan orang-orang yang mendampingi saya dari berbagai kota Kabupaten Papua, kami sudah saling akrab satu sama lain.

Saya orang Papua Asli menjadi perhatian utama peserta MTQ dari berbagai Propinsi Indonesia. Di Lampung saya hanya juara harapan dua untuk tingkat anak-anak. Selesai itu saya bersama rombongan pulang ke Papua dan sebagai duta yang membawa nama baik daerah. Untuk itu kami di pertemukan dengan Gubernur Isak Hindom.

Selanjutnya diantar Ustadz Wahidin Puarada saya pulang ke Walesi. Di sana sudah banyak orang kumpul menanti kami (saya dan Pak Wahidin Puarada). Rupanya mereka menunggu kedatangan kami sejak dari tadi. Mereka adalah orang-orang yang sudah saya kenal, ya keluarga besar muslim kampung Walesi, diantaranya orang tua asuh yang membesarkan saya dulu (keluarga dekat almarhum ayah saya). Mereka berkumpul persis dihalaman depan sekolah (MI) Merasugun Asso Walesi.

Dihadapan mereka saya diberi waktu untuk ceritera tentang perjalanan saya selama 6 bulan ikut Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ), dari tingkat Kabupaten-Propinsi sampai Nasional di Bandar Lampung. Saat itu saya belum biasa bicara dihadapan banyak orang, saya kaku, tidak bisa, malu. Tapi mereka sangat senang saya membawa pulang prestasi atas nama kampung Islam baru ini. Terutama Ustadz Bashori ALwy, beliau sangat senang muridnya bisa sampai mewakili Papua sampai ke tingkat Nasional.

Orang tua, terutama Paman saya bangga dengan kepulangan saya dengan beragam hadiah. Dia sangat puas dengan hasil perjalanan saya. Saya tahu itu tapi saya bersikap biasa pada saat pertama tiba disini, karena banyak orang, malu.. Banyak saudara-saudara dan para orangtuaku di kampung ini menanti dengan gembira akan prestasi saya mewakili mereka di tingkat nasional berjumpa kembali disini setelah perjalanan saya selama 6 bulan meninggalkan mereka di Kampung Walesi.

Saya sudah banyak ketinggalan pelajaran. Esok harinya saya sudah harus ikut persiapan Ebta dan Ebtanas. Terus terang untuk itu saya tidak siap. Saya banyak sekali ketinggalan pelajaran selama setengah tahun lamanya. Saya pergi selama 6 bulan, bukan waktu yang sedikit tapi itu berarti selama setengah tahun. Saya sudah banyak tidak mengikuti mata pelajaran yang akan di ujikan ditingkat nasional. Karena itu beratnya bagi saya bahwa tidak lama pulang ke Welesi, kampung halaman dari perjalanan panjang, sudah harus ikut ujian nasional. Tapi alhamdulillah saya akhirnya juga tetap lulus ujian lokal, Madrasah, maupun ujian nasional sekaligus.

Beberapa minggu saya tiba Walesi tidak begitu lama pecah perang suku antara Walesi dan Woma di satu pihak dan Kurima dan Assolokowal pihak lain. Pada waktu itu kami di jemput dengan kawalan seorang polisi dengan senjata lengkap dari Walesi turun ke kota Wamena sekitar 6 km jaraknya. Dari 6 orang anak siswa yang lulus angkatan ke- II lulusan Madarasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi, hanya 4 orang saja, dua orang dilarang oleh orang tua mereka.

Berangkat ke Jawa

Kami dari Wamena diantar oleh Abdurrahim Jumati. Dia orang Ternate , tinggal lama dan berda’wah di Wamena sebagai pegawai pemda. Kini beliau sebagai ketua Islamic Centre kabupaten Jayawi Jaya Wamena. Dalam kapasitasnya itu beliau dari Wamena bawa datang kami dan mengantarnya sampai di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Papung Bogor. Dari Wamena untuk keluar satu-satunya alat transportasi hanya udara. Mula-mula tiga orang teman saya baru merasakan naik pesawat, sampai ada yang teriak ketakutan karena pesawat oleng sedikit menghindari gunung emas Watikam sambungan dari Cartens yang kini diambil oleh Freeport itu.

Kami tidak langsung berangkat ke Jawa tapi tinggal di APO kali depan Polda, Jayapura. Tempat kami ditumpangi pemilik rumahnya orang Ternate , mungkin masih kelurga Paitua disini. Kaka-kaka kami yang dulu tahun 1978 didatangkan ke jayapura untuk sekolah di Panti Asuhan Muhammadiyah Abepura dan Madrasah Ibtidaiyyah Yapis Jayapura kota datang melihat kami, hanya untuk sekedar menanyakan keadaan orang di kampung, ada juga titipan surat buat mereka dari orangtuanya, tapi juga diantara kami salah satunya adalah adiknya..

Mereka dikirim ke Jayapura begitu Islam pertama masuk di kampung kami Assolipele Walesi. Jumlah mereka semuanya 20 orang anak. Untuk pertama kalinya sejak kami masih kecil dikirim ke Jayapura dari Walesi baru datang melihat kami disini sudah besar. Diantara mereka sudah banyak yang tidak melanjutkan pendidikan sebagaimana harapan orang tua dikampung dulu. Ada yang masih sekolah tapi kendala utama mereka sekolah di sini kelihatannya usia dan bahasa. Soal bahasa kelak sebagaimana akan kami alami nanti di Jawa sama. Kami disini tidak lama, hanya beberapa minggu saja di Jayapura. Dalam pada itu pengantar kami sudah membooking ticket sambil komunikasi dengan pihak Pesantren di Bogor kapan kami sudah mulai naik KM Umsini dan akan tiba di Tanjung Priuk.

Minggu selanjutnya pada malam hari kira-kira jam 22.00 WIT, dibawa antrian banyak orang kami datang ke pelabuhan untuk mengantri naik kapal. Ternyata kami baru pertama tahu, dipelabuhan malam itu manusia berjubel berebut naik kapal untuk mendapatkan tempat tidur di class ekonomi, adalah pemandangan biasa kala itu di kota Jayapura. Malam itu banyak manusia antri naik kapal dibawah penjagaan ketat tentara. Kapal putih besar ini semua kami juga pengalaman pertama kalinya. Walaupun sebelumnya dari Merak ke Bakahuni saya sudah pernah naik kapal laut tapi ukuran kapal penumpang ini sangat besar dan hanya menumpang manusia.

Kami mulai meniggalkan daratan Papua lewat laut menuju Pulau Jawa. Itulah pada mulanya kami diberangkatkan di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Papung Bogor. Rupanya pilihan dan undangan sekolah disini dipesan oleh Wapres RI pada waktu itu, Sudharmono. Rupanya pada waktu saya datang ikut MTQ di Bandar Lampung dulu (dua bulan sebelumnya), acara penutupannya di lakukan oleh Wapres RI , Sudharmono. Kemudian banyak peliputan dan tersiar berita di berbagai media massa pada waktu itu tentang berbagai hal tentang kami, Kafilah asal Irian jaya. Termasuk berita itu mungkin juga keikutsertaan saya lebih banyak tentang darimana lingkungan kehidupan masyarakat saya berangkat..

Karena itu masuk akal. Mungkin ada yang kastau dan sampai ke telinga Wapres RI , bahwa saya satu-satunya peserta dari Papua Asli, juga dari komunitas muallaf (daerah baru Islam berkembang). Beliau selaku pemimpin nasional, wajar karena itu tergerak hatinya, agar saya dan kawan-kawan berkesempatan belajar disini (pondok Pesantren Al-Mukhlisin) . Ini terbukti kami ketahui belakangan bahwa beliau sponsor utama Pondok Pesantren Al-Mukhlisin yang pemiliknya adalah staf pribadinya sendiri Bapak Haji Zainal Abidin. Karena itu ketika kami tiba pertama di Pondok Pesantren yang letaknya arah barat diluar kota Bogor ini, kami di pungut langsung sebagai anak angkat oleh sejumlah pejabat dari Sekretariat Negara RI.

Tiba di Tanjung Periuk

Kami menginjakkan kaki pertama di Tanah Jawa pada bulan Agustus tahun 1988 di Tanjung Priuk. Itu berarti untuk tiga orang kawan saya paling pertamakali menginjakkan kaki di sini (Jakarta). Kami berangkat dari Jayapura menggunakan kapal laut dengan KM Umsini. Perjalanan cukup lama dengan memakan waktu satu minggu. Lama-lama diatas kapal laut membosankan, apalagi makanannya tidak enak. Walaupun di atas kapal ada hiburan, kami orang baru, disamping itu ada pengantar yang terus mengawasi, agar kami tidak hilang, terus membatasi.

Begitu tiba di pelabuhan Tanjung Priok sudah ada jemputan. Kami tiba pada sore hari disini. Ternyata kami termasuk santri teristimewa, karena langsung di jemput oleh Kiay, pimpinan Pondok Pesantren, tempat dimana kami akan belajar didalam pola pendidikan system asrama yang semi militer peraturannya. Hal demikian tidak sama sekali dialami pelajar lain yang berasal dari berbagai daerah Indonesia itu. Disni misalnya ada santri asal Timor, Maluku, Sulawesi, Kalimantan Sumatra, Jawa, Madura dan Aceh Darusslam.

Dari Tanjung Priuk kami dibawa langsung ke Pondok Pesantren Ciseeng Parung Bogor, Jawa Barat pada waktu sholat maqrib tiba. Sehabis sholat maqhrib berjama’ah bertempat di Mesjid kami diperkenalkan kepada seluruh santri dan santriwati yang jumlah ribuan anak. Kami disuruh maju satu-satu dari empat orang untuk memperkenalkan nama oleh Pimpinan Pondok kepada kawan-kawan baru kami dan seluruh staf pengajar Pondok.

Pengantar kami sudah bicara duluan kepada pimpinan Pondok bahwa makanan pokok kami di Wamena Papua bukan nasi. Karena itu masa-masa awal kami di Pondok tidak makan bersama di dapur umum tapi dikhususkan makan dirumah Kyai. Untuk kami makan disediakan makanan ubi. Ibu dapur Pondok selalu sudah harus belanja bersama makanan yang diperuntukkan buat kami siswa/santri dari Papua. Demikian tugas itu sebagaimana yang diamanahkan Pimpinan Pondok. Ibu dapur selalu membeli makanan khusus buat kami dari Papua yaitu ubi jalar yang juga banyak terdapat di kota Bogor.

Tapi ubi jalar sebagaimana makanan pokok kami di Wamena lain rasanya dengan yang tumbuh di Bogor yang terkenal subur itu. Ubi di Jawa rasanya manis tapi tidak mengenyangkan. Tapi ubinya juga kecil-kecil tidak seperti di Wamena. Ubi Wamena Papua makan pagi bisa bertahan sampai malam hari. Tapi ubi disini buat kami banyak kentut, juga bau, karena serbelumnya di Jayapura dan dalam perjalan diatas kapal kami sudah makan nasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar